Pada awal tahun ini Korea Selatan melihat tanda-tanda yang menunjukkan gangguan pada ekonominya. Ekonomi Korea Selatan tumbuh 2,7 persen pada tahun lalu, menandai pertumbuhan tahunan paling lambat dalam enam tahun terakhir. Ekonomi lokal menargetkan pertumbuhan kisaran 3 persen sejak tercapai 3,1 persen pada tahun 2017, namun gagal untuk memenui target tahun lalu.
Ekspor meningkat 4 persen, menyentuh titik tertinggi dalam lima tahun terakhir. Meskipun ekspor melonjak namun konstruksi dan investasi perusahaan anjlok lebih tajam dari yang diperkirakan. Pertumbuhan lapangan kerja dapat dikatakan sebagai kejutan khusus. Peningkatan jumlah pekerjaan di tahun 2018 turun di bawah 100 ribu orang untuk pertama kalinya sejak krisis keuangan global tahun 2009 terjadi. Sementara itu, jumlah pengangguran menembus satu juta selama tiga tahun berturut-turut. Namun dalam tanda yang positif, pendapatan perkapita Korea Selatan diperkirakan menembus 30 ribu dolar pada tahun lalu. Namun kinerja yang luar biasa itu sulit dirasakan di kalangan masyarakat karena pertumbuhan pendapatan rumah tangga yang relatif lambat. Dengan kata lain, ekspor adalah pendorong utama dari pertumbuhan Korea Selatan. Meksipun demikian, prospek ekspor tahun ini diperkirakan tidak cerah.
Korea Selatan mencatatkan defisit perdagangan pada bulan ini. Sebagai tanda yang mengkhawatirkan, nilai ekspor Korea Selatan menurun. Ekspor yang lesu, ditambah dengan permintaan domestik yang lamban akan dapat menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi Korea Selatan.
Dalam kuartal keempat tahun lalu, ekonomi Korea Selatan tumbuh satu persen daripada kuartal sebelumnya, karena pengeluaran anggaran pemerintah yang besar. Tetapi tingkat pertumbuhan tahunan akhirnya turun menjadi 2,7 persen yang mencerminkan dampak pengeluaran fiskal dan ekspor terbatas. Pertumbuhan ekonomi didorong oleh permintaan domestik, ekspor, investasi dan pengeluaran pemerintah. Untuk mencatat pertumbuhan positif dalam semua bidang ini, Korea Selatan harus mengamankan daya saing industrinya terlebih dahulu.