Pada April lalu, ekspor ke Pakistan tumbuh 116 persen dibanding bulan sebelumnya, India tumbuh 56 persen, dan Bangladesh tumbuh 18 persen. Sementara itu, ekspor CPO keseluruhan tercatat sebesar 2,68 juta ton. Ekspor tersebut naik 5,93 persen dibanding bulan lalu 2,53 juta ton.
Sekretaris Jenderal Gapki Togar Sitanggang menuturkan, volume ekspor ke tiga negara tersebut sayangnya masih dianggap sangat kecil. Jika digabung, total ekspor ke tiga pasar tersebut hanya tercatat 959,3 ribu ton atau 35,79 persen dari total ekspor. Adapun ekspor terbesar menurut dia, masih berasal dari negara-negara Uni Eropa yakni mencapai 482,95 ribu ton atau 18,02 persen dari total ekspor.
Togar mengaku tingginya minat ekspor ke Uni Eropa merupakan fenomena yang unik. Pasalnya, parlemen Uni Eropa baru saja menerbitkan resolusi bertajuk Report on Palm Oil and Deforestation of Rainforests, yang merekomendasikan penggantian minyak kelapa sawit dengan minyak nabati lain untuk program biodiesel. Ekspor CPO ke negara-negara tersebut bahkan naik 8 persen pada April dari posisi bulan sebelumnya 446,92 ribu ton.
“Tapi berbicara resolusi Uni Eropa, mereka mengatakan bahwa ini masih non-binding, yang artinya kebijakan ini belum mengikat ke seluruh negara-negara anggota Uni Eropa. Kemarin pun parlemen Eropa datang ke Indonesia juga berbicara hal serupa, karena nyatanya permintaan dari sana terbilang banyak,” ujar Togar di Jakarta, Rabu (31/5).
Kendati ekspor CPO tercatat meningkat secara keseluruhan di April, peningkatan tersebut tak diiringi pertumbuhan produksi CPO. Togar mengatakan, persediaan pada bulan April kemarin tercatat 4,47 juta ton.
Namun, dengan permintaan domestik dan luar negeri sebesar 3,59 juta ton, stok akhir minyak kelapa sawit tercatat 888 ribu ton. Angka tersebut berkurang jauh dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, di mana stok akhir tercatat 2,2 juta ton.
Selain itu, kenaikan ekspor ini terjadi di saat harga minyak kelapa sawit US$655 hingga US$717,5 per metrik ton. Kendati demikian, ia berharap ekspor ke depan bisa membaik karena harga di pekan keempat Mei menunjukkan tren perbaikan.
“Ada kemungkinan pertengahan tahun ini tren sawit memasuki panen puncak, dan di saat yang bersamaan, kami berharap permintaan ekspor juga bisa bertambah,” pungkasnya. (agi)