Jakarta -Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengeluarkan aturan baru soal pengetatan ‎ekspor timah dalam Permendag No. 33/2015 tentang ketentuan ekspor timah. Pengetatan ini agar mengendalikan ekspor timah secara berlebihan terhadap komoditas strategis ini.

Selama ini, timah banyak dipakai oleh industri elektronika seperti ponsel dan lainnya. Indonesia merupakan negara produsen timah terbesar di dunia.

Staf Khusus Menteri Perdagangan bidang Kebijakan Perdagangan Internasional Gusmardi Bustami mengatakan keluarnya aturan ini sangat tepat karena Indonesia yang dikenal sebagai eksportir timah terbesar di dunia justru banyak dirugikan, karena ekspor yang tak terkendali secara legal maupun ilegal.

‎”Selama ini timah telah terjadi over supply di dunia, dan harganya jatuh. Padahal timah ini banyak gunanya seperti komponen handphone dan tidak ada subsitusinya. Ini sangat strategis,” kata Gusmardi saat ditemui di kantor Kemendag, Jalan Ridwan Rais, Jakarta, Selasa (19/05/2015).

Dengan turunnya harga timah dunia jelas merugikan Indonesia. “Kita produsen terbesar di dunia,” sebutnya.

Sementara itu, Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Partogi Pangaribuan mencatat di tahun 2013 Indonesia mengekspor timah berbagai jenis sebesar 96.000 ton, berlanjut di tahun 2014 sebanyak 81.000 ton. Dengan dikeluarkannya aturan pengetatan ekspor timah, maka diprediksi harga timah dunia akan naik.

“‎Diperkirakan akan berkurang secara tonase. Dengan harga tinggi hasil yang kita peroleh lebih banyak. Resources dan lingkungan kita lebih terjamin dan disahkan internasional‎,” katanya.

Menteri Perdagangan Rachmat Gobel menyebut dikeluarkannya aturan pengetatan ekspor timah dilakukan atas permintaan masyarakat yang gerah atas aktivitas tambang liar di Bangka Belitung (Babel). Selain itu Gobel mencatat banyak timah asal Indonesia yang diekspor secara ilegal ke berbagai negara.

“Saat saya duduk jadi menteri, ada yang datang ke saya dan memberi tahu bahwa pengguna timah ini mendapatkan klaim masyarakat atas lingkungan. Banyak timah ilegal. Dikaji oleh tim akhirnya kita membuat kesimpulan aturan ini kita revisi ulang untuk mengendalikan ekspor ilegal dan menunjukan masyarakat pengguna kita komit terhadap lingkungan,” tegas Gobel.

Sebelum adanya Permendag 33 Tahun 2015, pemerintah sudah mengendalikan ekspor timah dengan Permendag No 44 Tahun 2014. Permendag ini diangggap masih punya kelemahan, termasuk soal belum detilnya jenis atau bentuk timah yang bisa diekspor, sehingga masih banyak diakali. Permendag mengatur sebelum diekspor, timah harus dicatatkan di bursa, agar bisa menjadi pembentukan harga dunia.

(wij/hen)