Jakarta – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) meminta pemerintah menetapkan kelapa sawit sebagai komoditas strategis.

Pasalnya, selama inj kebijakan pemerintah terkait kelapa sawit dinilai lemah. Akibatnya, kebijakan antar kementerian terkait kelapa sawit tidak sinergis dan tidak saling mendukung.

‬Ketua Umum Gapki Joko Supriyono menuturkan, sektor kelapa sawit masih mencatat potensi pertumbuhan yang besar. Dari sisi ekspor, kata dia, hingga akhir Maret 2015 masih tumbuh sekitar 13,7 persen dibandingkan periode sama 2014.‬

‪Ekspor minyak sawit dan turunanya, kata dia, berkontribusi sekitar 13 persen terhadap total ekspor non migas nasional. Angka itu, bisa dinaikkan terutama dengan pemanfaatan pasar di Afrika dan Timur Tengah yang masih terbuka lebar. Sambil terus menggenjot pasar tradisional. Peningkatan ekspor monyak sawit, ujar dia, harus dilakukan semaksimal mungkin.

‬‪Apalagi, lanjut Joko, Indonesia menghadapi masalah defisit transaksi berjalan. Akibat ketergantungan atas impor yang dipicu upaya peningkatan produksi dalam negeri dan pertumbuhan ekonomi nasional. Ditambah dengan tertekannya posisi rupiah. Untuk itu, kata Joko, peningkatan ekspor dan menekan impor harus dilakukan.

‬‪”Sektor kelapa sawit berkontrobusi penting terhadap ekspor, pembangunan ekonomi, termasuk pemerataan ke daerah. Apalagi Presiden Joko Widodo juga menyatakan upaya peningkatan ekspor produk strategis. Salah satunya ya sawit ini. Karena itu, menjadikan kelapa sawit sebagai komoditas strategis harus dilakukan dan dalam tataran kebijakan. Dengan demikian, kebijakan pemerintah terkait sawit bisa sinergis. Misalnya, soal kebijakan ISPO. Kami melihat implementasinya lambat dan sosialisasi masih kurang. Kami membaca ini karena kurangnya dukungan kementerian lain. Kami membayangkan, semua kementerian memiliki portfolio dan anggaran yang jelas soal sawit. Karena ini adalah komoditas strategis,” kata Joko saat Pengukuhan Pengurus Pusat Gapki periode 2015-2018 di Jakarta, Selasa (28/4).

‪Dia menambahkan, sawit juga berperan mendukung kebijakan pemerintah menekan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) dengan program penggunaan minyak sawit atau biodiesel. Dengan demikian, bisa menekan impor BBM yang merupakan komponen terbesar dalam impor Indonesia.

‪Sawit, lanjut Joko, juga berkontribusi terhadap penciptaan lapangan kerja yang signifikan, terutama di pedesaan.

‪Karena itu, ujar dia, tidak ada pilihan selain mendorong sektor kelapa sawit Indonesia. Termasuk, memfasilitasi penciptaan industri hilir yang kuat dan berkelanjutan.

‪Di sisi lain, kata Joko, menuturkan, tantangan yang dihadapi sektor kelapa sawit, baik dari dalam maupun luar negeri. Dari dalam negeri, ujar dia, terkait iklim investasi yang belum berpihak. Dia mencontohkan, perizinan yang tidak sederhana, Peraturan-peraturan daerah, hingga gangguan sosial akibat ketidakpastian hukum.

‪Sementara itu, lanjut dia, minyak kelapa sawit Indonesia menghadapi tantangan dari LSM-LSM internasional. Akibatnya, ujar dia, produk minyak sawit Indonesia menghadapi hambatan tarif dan non tarif. Secara perlahan, kata dia, hal tersebut akan menekan daya saing minyak kelapa sawit Indonesia di masa depan.

‪”Kami berharap bisa menjadi kebanggan nasional, seperti di Malaysia. Dimana pemerintahnya sangat aktif membela di pasar internasional. Sangat disayangkan kalau dalam 20 tahun lagi, sektor sawit ini mengalami kemunduran akibat kebijakan yang dibuat sendiri. Seperti yang terjadi pada gula, kopi, dan tembakau. Dimana dulu kita menjadi eksportir, tapi sekarang menjadi importir,” kata Joko.

Damiana Ningsih/FQ

Investor Daily